Oleh
: Fatmawati Liliasari
Saya yakin
tiap-tiap manusia ber-‘hati’ bila mendengar dan megalami kata pisah, yang
terbayang di pikiran adalah derita. Pisah menjadi momok mengerikan dalam sebuah
hubungan. Sebuah fase paling melelahkan dan complicated.
Tahukah kau
kawan, yang paling menyakitkan dalam pisah adalah hal-hal yang dulu biasa
dijalani bersama-sama kini menjadi tidak biasa lagi. Dalam sebuah hubungan, dua
orang yang dulu bertemu, membangun cerita bersama, meramu kenang berdua, pisah
menjadi semacam tukang jagal yang tega memenggal,
memotong segala bentuk kebahagiaan yang dirasai. Membuat dua orang yang dulu
demikian karib, yang dulu demikian mesra, kini menjadi orang asing satu sama
lain.
Pisah adalah
saat di mana kita menjadi nol lagi, atau dipaksa terjun menuju nol. Melupakan
capaian yang dulu pernah diraih, lalu setengah mati berbesar hati membujuk diri
berbenah memperbaiki semuanya, memulai dari awal lagi. Terbata-bata menata
hati, tertatih-tatih mengumpulkan amunisi biar bisa bersemangat menjalani hidup
lagi.
Dalam beberapa
hal, pisah mungkin menjadi jalan keluar paling masuk akal yang bisa dijalani
ketika dua orang sudah tidak sejiwa lagi, sudah tidak dapat berbahagia ketika
salah satunya bahagia, sudah tidak melihat dengan mata yang sama, sudah tidak
merasa dengan hati yang sama. Kalau sudah begitu, pisah boleh jadi adalah pintu
kemerdekaan bagi masing-masing. Biar tidak saling menyakiti satu sama lain.
Atau boleh jadi,
pisah menjelma menjadi obat penawar untuk kejenuhan, untuk mendapatkan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan ragu kedua belah pihak, ketika mereka saling
mempertanyakan arti keberadaan dirinya bagi yang lain. Kata Bang Tere Liye,
kadang-kadang untuk membuat seseorang menyadari perasaannya sendiri adalah
justru dengan cara menyakitinya. Pisah mungkin akan menerangkan pada kita
betapa berharganya kehadiran satu sama lain, karena ada hal yang dirasa kurang
ketika salah satunya tidak ada
Makassar,
30 April 2015
Komentar