Oleh : Fatmawati Liliasari
Masih sepertiga malam, kehidupan belum
lagi menggeliat di desa sepi ini. Tapi gerimis sudah bergegas, buru-buru
menuntaskan rindu pada tanah, pada bunga-bunga mawar yang mekar serempak, pada
labirin hatiku yang sedang digores rindu.
Masih sepertiga malam,
dini hari lebaran. Dan gerimis jatuh memerihkan gores rindu. Sepagi ini, di
tahun-tahun sebelumnya. Mama sudah sibuk menepuk bahuku lembut, membangunkan.
Biar aku cepat bersiap untuk sholat idul fitri. Lalu setelah itu, aku akan ikut
sibuk menyiapkan pakaian adik-adikku. Menyiapkan sajadah dan mukena untuk Mama
dan Ayah.
Masih pagi, dan rumah
jadi ribut sekali. Adikku paling kecil baru saja keluar dari kamar mandi,
berteriak dari balik sarung meminta pakaiannya diparfumi juga. Sementara adikku
yang kedua sibuk dengan pilihan antara memakai celana panjang atau sarung. Ayah
biasanya tak mau kalah, cerewet sekali mengomentari corak sarung yang
kupilihkan. Aku jadi sebal. Laki-laki di rumah ini begitu menyebalkan dan
banyak mau.
Masih pagi. Azan subuh baru
saja berkumandang sayup dari masjid. Gerimis sebentar deras sebentar lagi
pelan. Semau-maunya. Lebaran tahun ini aku dibangunkan gerimis yang menjelma
menjadi suara lembut Mama.
Sebelum keluar untuk
wudhu, aku sempatkan bangunkan tiga orang teman seposko untuk ikut bangun, yang
direspon hanya dengan gumaman malas. Ini mungkin lebaran pertama mereka di kampung
orang. Jauh dari rumah, jauh dari keluarga dekat, jauh dari orangtua.
Kalau biasanya setelah
sholat subuh aku akan bergegas mandi dan bersiap-siap. Kali ini oleh sebab
gerimis dan suhu dingin aku perlu satu jam untuk menguatkan diri mandi dengan
air yang juga dingin bagai air es. Waktu satu jam pula untuk membangunkan
ketiga teman seposkoku lagi. Bertanya apa mau ikut sholat ‘id atau tidak,
karena gerimis tidak menunjukkan gejala bakal berhenti. Langit sempurna
mendung. Gunung di sebelah barat desa menyelimuti dirinya di balik kabut.
***
Kata Ibu Desa, kita
akan sholat ‘id berjamaah di tanah lapang. Aku membayangkan lapangan luas,
datar ditumbuhi rumput pendek-pendek atau setidaknya hamparan kebun yang telah
dikapling untuk ditempati sholat seperti di kampungku saban idul fitri.
Bayangan kedua setidaknya mendekati tepat, tetapi jalan yang ditempuh
menyeberangi bukit, melewati kebun jagung dan kebun kopi, jalurnya menurun lagi
licin, membuat aku menggeleng kewalahan. Baru kali ini aku menemui jalan yang
begitu sulit untuk sholat ‘id berjamaah. Belum lagi gerimis tak mau kalah.
Kalian suka main
hujan-hujanan? Atau minimal suka hujan? Aku suka. Dulu aku sering sekali
bermain kejar-kejaran atau bermain apa saja ketika hujan, sampai ujung jariku
keriput dan memutih, sampai menggigil. Sekarangpun, hujan masih menjadi momen
yang selalu kunantikan. Ada-ada saja hal-hal yang dapat dilakukan untuk
menikmatinya. Tapi tak pernah sekalipun
terbayangkan sembahyang di tengah-tengah tanah lapang bersama-sama
puluhan jamaah lainnya sedang hujan mengguyur sajadah dan mukena kami, mengecup
pipi kami mesra dan menghadirkan suara ritmis yang Ilahi. Serangga-serangga
padang rumput, anjing-anjing penjaga kebun diam. Khusyuk mendengar takbir,
tahlil dan tahmid dikumandangkan sedang Tuhan berbaik hati menurunkan berkah
hujanNya menjadi saksi sholat ‘id didirikan. Juga menjadi pembasuh bagi
jiwa-jiwa baru yang hari ini resmi dilahirkan kembali.
Kembali dari tempat lebaran,
rasanya aku telah memenangkan dua hal. Pertama, memenangi bukit. Kedua,
memenangi hujan. Tapi keduanya tak lengkap tanpa sungkem pada Ayah dan Mama.
Kali ini tangisku buncah begitu Mama menjawab telponnya di seberang. Suaraku
kalah oleh isak, Mama juga tak dapat membendung tangis. Akhirnya kami hanya
bersahut-sahutan isak di telpon. Di luar gerimis bergegas tumpah. Mendera
bunga-bunga, mendera tanah dengan kerinduan yang luap.
Komentar