Oleh: Fatmawati Liliasari
Ada sebuah warung kopi di salah satu
kompleks pemukiman di kota kami. Sebuah warung kopi istimewa sebab tidak hanya
menyajikan kopi, aneka minuman dan makanan ringan tetapi juga menyajikan
buku-buku yang bisa dibaca namun tidak bisa dibawa pulang. Tempat itu
belakangan menjadi rumah bagiku, tempat bekerja sekaligus belajar. Lalu
belakangan kutahu, tempat ini adalah rumah bagi kenangan milik seseorang.
***
Warung kopi ini selalu
buka pukul 7 malam. Ketika napas-napas malam mulai menggeliat, para pekerja
telah pulang ke rumah masing-masing, dan kehidupan malam baru saja dimulai. Aku
bersiap-siap di meja kasir, mengambil salah satu buku yang terpajang rapi di
dinding sambil menunggu pelanggan pertama datang.
Dua hari belakangan warung
kami kedatangan seorang pelanggan. Perempuan. Dia datang sendiri, menyungging
senyum lantas membunyikan bel pemesanan di meja kasir. Sesuatu yang sebetulnya
tidak perlu. Tapi perempuan itu memaksa.
“Biar saja. Aku suka
bunyi bel semerdu ini. Menggemaskan, dan membuat kita terpanggil sebab ada yang
seseorang yang membutuhkan kita.” Tawanya renyah di ujung kalimat.
“Sama siapa?” Tanyaku
sembari menyodorkan papan menu.
Dia menengok sebentar
ke pelataran parkir lantas berbalik buru-buru memasang senyum, “sendiri”
sahutnya cepat.
Ia seolah-olah takut
sesuatu yang terlintas di pikirannya diketahui oleh orang lain.
“Aku pesan roti bakar
coklat dan jus buah naga.” Pesanannya adalah sebuah tanda atau caranya memperingatkanku
agar tidak terlalu banyak bertanya.
Perempuan itu masuk ke
ruang dalam, singgah sebentar di tengah ruangan menelusur beberapa buku di rak
dengan mata dan jemarinya. Lantas berlalu. Langkahnya mantap ke sudut ruangan.
Di hadapan rak yang disesaki lusinan buku, persis menghadap jendela. Ia duduk
di situ, di kursi nomor 5 dekat pintu samping. Ia mengeluarkan sebuah buku
bersampul merah dari tas kecilnya.
Malam ini perempuan itu
datang lagi, jam yang sama dan senyum yang sama pula. Hanya saja bunyi belnya lebih
lembut dari yang kemarin.
“Sengaja. Kamu serius
sekali membaca bukunya.” Sahutnya saat kutanya mengapa bunyi belnya tidak
semerdu kemarin.
“Sendiri?” Basa-basi.
Ia mengangguk.
Tersenyum.
“Lagi ada tugas ya?”
“Tidak. Jus buah
naganya ada kan?” Perubahan topik yang tiba-tiba.
“Ada.” Dia selalu
memesan jus itu.
“Pesan satu ya, sama
pisang goreng.” Ia lantas berlalu, singgah sebentar di rak ruang tengah
mengecek apakah ada buku baru di sana, lalu beringsut duduk di kursi nomor
lima.
Sebuah pesanan adalah
caranya membatasi diri.
Dulu, perempuan itu
sering datang berkunjung, kadang datang bersama teman-temannya, kadang ditemani
seorang lelaki. Mereka sering terlihat bersama. Dulu..
***
Malam ini warung kopi
kami buka satu jam lebih lambat. Cuaca sangat tidak bersahabat. Sejak siang
hujan membayangi langit-langit kota. Aku ketiduran hingga sore. Jadi baru bisa
keluar mencari beberapa bahan yang habis selepas magrib. Satu masalah lagi,
semua rekan kerjaku sedang ada tugas lapang di luar kota. Jadi di malam
berhujan ini aku harus bertugas sendirian.
Tak apalah, pelanggan
biasanya tidak terlalu ramai saat cuaca sedingin ini. Jadi kuputuskan untuk
berbenah di dapur, tidak lupa menyeduh segelas teh jahe hangat untuk menemaniku
sampai tengah malam nanti.
Tiing.. tiing..
Bel kecil di meja
konter berdering dua kali. Seseorang sedang sangat membutuhkanku.
Perempuan itu sedang
duduk duduk bersidekap di depan meja konter ketika aku melongokkan kepala di
pintu partisi yang menghubungkan dapur dan konter.
“Wah, pelanggan yang satu
ini loyalitasnya tinggi sekali.” Selorohku. Dia mengangkat kepala, senyumnya
merekah.
“Mau teh jahe?”
Tawarku.
“Teh madu saja, please! Dan semangkuk mi rebus dengan
telur ceplok. Aku kedinginan dan lapar.” Pintanya. Tangannya sibuk mengibas
bahu kaus yang basah.
Dia datang sendiri.
Seperti biasa.
“Baiklah. Silahkan
menunggu di dalam Nona. Teh madu dan mi rebusnya segera siap.” Sahutku riang.
Sudah malam kelima dia
datang ke warung kopi kami. Selalu sendirian. Memesan jus buah naga
terus-menerus, duduk di kursi yang sama. Seandainya malam ini tidak hujan atau
seandainya jus buah naga bisa dibuatkan versi hangatnya, dia pasti memesan jus
buah naga hangat itu.
“Teh madu hangat untuk
Nona manis penggemar buah naga.” Seruku riang membawa nampan yang penuh atas
pesanannya, juga segelas teh jaheku. Warung kopi sedang sepi, hanya kami
berdua. Aku ingin mencoba peruntunganku malam ini.
Dia tersenyum. Gigi
gingsulnya terlihat manis sekali. Aku segera membuka obrolan, bertanya banyak
hal. Kabarnya, juga kabar dia yang dulu sering terlihat bersamanya. Tidak lupa
mengeluh tentang cuaca yang membuat segalanya sunyi dan membosankan.
“Tidak juga. Aku punya
banyak kenangan manis justru pada saat hujan turun.” Dia meniup uap yang
mengepul pada tehnya, meminumnya sedikit.
Mengapa perempuan
senang sekali membahas kenangan? Kan malah ujung-ujungnya jadi baper dan tidak asik
lagi diajak ngobrol.
“Kamu benar, kenangan
seharusnya memang hanya untuk dikenang. Bukan dibahas.” Matanya memandang ke
arah jendela.
Sikapnya itu membuatnya
berubah dua kali lipat lebih menarik.
“Kamu tidak suka jahe?”
“Suka.”
Dia sekarang mulai
menyentuh mi rebusnya, dua tangannya memainkan garpu dan sendok.
“Sebagian besar
pelanggan pada cuaca seperti ini, pasti langsung menyetujui tawaran teh jaheku.
Kecuali mereka yang tidak suka jahe. Lantas, kenapa malam ini kamu malah
memesan teh madu setelah empat hari berturut-turut datang ke warungku dan
memesan jus buah naga?” Tanyaku ingin tahu.
Dia menyeruput kuah
minya.
“Aku tidak mau membahasnya.”
“Jadi bagaimana dengan
buah naga?” Tanyaku lagi.
Dia mengangkat bahu,
sama sekali tidak berminat. Suara seruputan minya mengatakan itu.
Kami berdua diam. Aku
pura-pura sibuk membaca, dia sibuk menghabiskan minya. Di luar hujan tidak mau
peduli.
“Mi instan itu lucu ya.”
Celetuknya tiba-tiba.
Eh?
“Kalau orang lain yang
buat, rasanya nikmaat banget. Beda kalau buat sendiri, rasanya kok biasa aja.”
Mangkuk minya telah
kosong, hanya tertinggal sisa-sisa bumbu yang menempel di dinding mangkuk.
“Apa yang tidak
dibentuk oleh kenangan?”
“Maksudmu?”
“Coba deh lihat mangkuk
ini. Permukaan dalamnya tertinggal serbuk bumbu, tepat di batas kuah mi tadi
tergenang. Kita anggap serbuk bumbu yang menempel ini sebagai kenangan bahwa
tadi pernah ada semangkuk mi di dalamnya.” Perempuan ini melanturkan serbuk
bumbu dan kenangan.
“Hei..! Kita bisa
mencuci mangkuknya menggunakan sabun cuci piring paling ampuh. Tidak ada lagi
jejak serbuk bumbu sedikitpun. Gampang kan.” Kilahku.
Perempuan itu ganti
menatapku sambil mengulum senyum, seolah ada yang lucu.
“Kamu lupa ya? Kita ini
bukan mangkuk. Kita punya memori penyimpan ingatan. Ingatan yang kamu suka dan
tidak suka akan tetap tersimpan di sana. Sebesar apapun keinginan kamu mengusirnya
jauh-jauh. Bahkan ketika suatu saat kamu memiliki sabun pembersih kenangan
paling ampuh sekalipun.”
Ini malam yang sepi dan
membosankan, ditambah lagi harus dikuliahi soal kenangan. Aku tidak suka
membahas kenangan, apalagi kenangan asmara. Kenanganku di bidang itu sama
sekali tidak bisa dibanggakan.
Perempuan selalu pergi
dariku dengan alasan-alasan yang tidak dapat kumengerti.
Dalam sebuah hubungan
asmara, cinta tidak lagi menjadi yang utama. Dua orang manusia dengan segala
kerumitan interaksi. Kamu bisa bayangkan bagaimana rumitnya menyatukan kepingan
puzzle dengan sisi dan bentuk berbeda
menjadi sebuah gambar yang utuh. Kenangan baik dan buruk adalah dinamika,
tinggal bagaimana kita mengambilnya sebagai pelajaran.
“Aku juga telah gagal
mempertahankan hubunganku dengannya,” dia menyebut sebuah nama. “Dia pergi
bersama perempuan yang dulu dicintainya sebelum kami bertemu. Aku tahu cintanya
pada perempuan itu tidak pernah selesai, hanya saja saat itu aku mungkin
pilihan paling rasional baginya.” Kegetiran terlihat jelas pada wajahnya.
“Kami bertemu,
mendapati beberapa kecocokan. Lalu bersepakat membangun komitmen. Meskipun akhirnya
tidak selalu baik, tetapi aku memiliki beberapa kenangan baik bersamanya dan
aku berhak mengenangnya untuk diriku sendiri.” Dia menyeruput teh madunya
perlahan.
“Warung kopi kamu ini
adalah rumah bagi kenangan-kenangan baikku, juga teh madu dan jus buah naga.
Kan nggak bakalan ada yang marah kalau aku kini menikmatinya seorang diri. Ini kenanganku,
milikku.”
Ada hangat yang leleh
dari senyumnya, sementara di luar hujan berubah menjadi gerimis.
Makassar
(2017), waktu suka-suka aku :)
Komentar