Oleh: Fatmalilia Atha
Azzahra
Di Makassar
saban hari saya saksikan semakin banyak kafe dan warung-warung kopi
bermunculan. Setiap berjalan beberapa meter selalu ada kafe mengantarai, bahkan
banyak saya jumpai kafe berseberangan, saling berhadapan, atau hanya dipisahkan
selapis tembok ruko.
Kafe-kafe ini
hadir dengan bermacam-macam konsep yang ditawarkan. Mulai dari kafe untuk yang
workaholic, yang bernuansa chic ala-ala anak muda, atau yang dilengkapi
buku-buku dan ruang-ruang diskusi. Tinggal pilih deh, enaknya nongkrong di
mana.
Dan berhubung
pikiran saya sering melantur ke mana-mana. Fenomena kafe di Makassar
jangan-jangan disebabkan oleh kebutuhan orang-orang untuk nongkrong,
ngumpul-ngumpul, atau sekedar menghabiskan waktu luang. Secara gitu, Makassar
banyak ditinggali oleh orang-orang urban yang hidup sendiri (jauh dari
keluarga) jadi untuk menghabiskan waktu luang dan bersosialisasi dengan
teman-teman ya di tempat-tempat seperti kafe itu.
Kebutuhan untuk
menghabiskan waktu luang juga mungkin jadi alasan kenapa banyak kafe baru buka
sore hingga jauh malam. Soalnya kebanyakan workaholic yang muda-muda waktu
luangnya ya.. malam hari.
Pas nulis
begini, tiba-tiba saya ingat lagi pada sebuah kalimat yang entah saya baca dari
buku mana dan pengarangnya siapa (saya sering lupa akhir-akhir ini) kalau
kemajuan suatu negara dilihat dari seberapa sejahtera rakyatnya. Dan salah satu
tolak ukur kesejahteraan adalah banyaknya waktu luang.
Kalau begitu
berarti kesejahteraan rakyat Indonesia bisa dilihat dari seberapa ramai kafe
dan warung-warung kopi dikunjungi tiap harinya? Atau seberapa penuh tempat
hiburan dan tempat wisata dikunjungi setiap harinya?
Aduh, saya cuma
bingung dan kecapekan mengira-ngira. Jadi tulisannya selalu ambigu, tanpa
konklusi. Sebab saya sendiri masih sering diliputi tanya.
Makassar, 14 Februari
Komentar