Petang menjelang tua.
Pada salah satu petang di pelataran HIMTI. Ada jeda diam yang panjang. Abbas
sedang ‘mencoba’ mencurahkan segenap perhatian pada salah satu mahakarya draft
tulisan di laptop birunya. Dan aku seenaknya mengganggu dengan segala macam
pertanyaan.
“Tempatmu pulang adalah
tempat dimana ada orang yang memikirkanmu.” Manuver Abbas yang tidak terduga.
Tanpa tahu muasalnya dia mengutip kata-kata Naruto pada salah satu episode The
Movienya.
“Bagaimana caranya kita
tahu seseorang sedang memikirkan kita?” Aku jail bertanya.
Posisi duduk bersilanya
segera berubah. Dengan cueknya Abbas berbaring di lantai pelataran yang merah.
Semerah baju yang dikenakannya. “Ya, pikirkan dia.”
“Ih, maksudnya?” Aku
tidak terima dengan jawabannya. Lantas berlagak tidak mengerti. Aku selalu suka
kalau Abbas menjelaskan lebih banyak.
“Kalau misalnya ada
orang kupikirkan, terus pulang ma ke orang itu. Tapi ternyata cek per cek ini
orang tidak pernah ka na pikir. Berarti salah tempat pulangka dong?”
Abbas ber-iih panjang,
memukul-mukul lantai dengan gemasnya sambil tertawa. Dia selalu begitu kalau
sedang kesulitan menyederhanakan penjelasan yang rumit.
“Pernahko dengar
tentang resonansi?” Dia bangkit duduk, memperbaiki rambut gondrongnya yang
diikat gelang spral plastik merah muda. Berusaha terlihat serius.
“Pernah. Getaran yang
merambat toh,” jawabku dengan intonasi yang terdengar menjengkelkan di
telingaku sendiri, “eh itu resonasi tahu, tidak pake ‘n’.” dan beberapa menit
ke depan kami hanya berdebat perihal tulisan resonansi, pakai ‘n’ atau tidak.
“Pake ‘n’ nah. Sini
kubukakan ko KBBI.”
“Tidak pake, Abbas.
Ndak percaya ko sama saya?” Pertanyaan pamungkas cewek kalau sedang terpojok.
Dasar!
Abbas mengabaikan
pertanyaanku. Dia serius mengetikkan kata resonansi
dan resonasi. Dimanakah di antara
keduanya yang benar menurut KBBI.
“Nih, liatko ini. R E S
O N A N S I. Pake ‘n’.” tunjuknya ke layar laptop penuh kemenangan.
Aku nyengir. Mengaku
salah.
“Jadi itu getaran tidak
merambat sebatas antara materi atau benda mati saja. Misalnya, ini manusia,
partikel…” Abbas mulai ngawur.
“Maksudmu itu sama
dengan cara kerja doa?” Aku segera memotong sebelum Abbas melantur terlalu
jauh.
“Nah! Itumi mau
kujelaskan tadi.”
Aku tahu, dia pasti mau
bilang kalau lingkungan akan bereaksi positif terhadap persepsi-persepsi atau
keyakinan yang tertanam dalam benak kita.
“Tapi Bas, bagaimana
caranya kita tahu kalau itu orang lagi na pikir ki juga?” Aku kekeuh bertanya
lagi.
Abbas berdecak, kembali
berbaring lagi, “edd.. terlalu terburu-buru ko Fatma. Itu getaran butuh waktu
untuk merambat. Ada memang kehendak bebasmu, Tuhan juga sepakat-sepakat ji
selama baik untuk kau. Tapi harus ko ingat, kau ini manusia. Dibatasi ko sama
ruang dan waktu, dan.. itu orang yang nu pikir ka ada kehendak bebasnya juga.”
Bias keemasan sedang
luruh di sebalik zamani-zaman, pada daun juga reranting, lalu diam-diam merayap
di atas lantai merah pelataran. Menyepuh segalanya, daun-daun kering,
bunga-bunga merah muda yang terserak, dan hatiku yang leleh.
Mungkin
aku sedang cemburu.
“Iya. Dan cemburu
adalah tanda berkurangnya kepercayaan.” Abbas menimpali. Aku tidak sadar
gumamanku tadi didengar olehnya.
Abbas benar. Semuanya.
Cemburu adalah tanda berkurangnya kepercayaan, bukan semata-mata kepercayaanku
padamu. Tetapi lebih pada kepercayaanku pada diri sendiri. Bahwa apakah aku
masih pantas untukmu, apakah aku masih mampu bersitahan dengan rindu dan merawat
rasa percaya padamu, apakah aku masih bisa keras kepala untuk tetap
memikirkanmu, apakah aku masih sanggup menuliskan kisah-kisah yang kita bukan hanya aku atau kamu, dan
apakah-apakah yang lainnya.
Aku disergap ragu yang
akut akhir-akhir ini. Sementara rindu tidak bisa menjanjikan apa-apa. Entah
kapan resonansi itu bekerja untukku, sebab saat ini nampaknya orang yang selalu
kunantikan pulang, tidak pernah pulang padaku.
“Ayo mi deh Abbas,
antar ma pulang.”
Bersambung..
Makassar, 11 Mei 2017
Komentar