Hujan telah membuat irama
rintik di atas genteng rumahku, tetesnya lalu mengalir mencium bumi. Retak.
Perca kembali menyatu. Ada yang lain lagi Kak, rintiknya samar-samar masih
berbisik namamu. Entahlah, aku masih merasakan keberadaanmu di antara geericik
manja.
Kuharap retaknya cepat
menyatu, karena aku benci genangan Kak. Sebenarnya aku menyukai hujan tak lebih
hanya untuk bermain kejar-kejaran. Tapi karenamu aku berubah menjadi
merindukannya, merindukan setiap butrinya menyapu wajahku, berbagi butir-butir
sejuknya untuk membasuh wajah letihku
Aku memandang lepas ke pelataran HIMTI yang nyaris setengahnya tertutupi pohon bebungaan bila dilihat dari sela daun mangga depan Himpunan, tempatku berdiri dan mengamati saat ini. Di bawah sana, berpuluh-puluh manusia sepertiku lalu-lalang dengan berbagai urusan. Bolak-balik memfotokopi, susah payah mengekori asisten agar sudi membuka laporan walau selembar. Tetapi ada juga yang duduk santai di sudut kantin mace, meningkahi gerimis sore ini dengan kepul hangat kopi dan uap kretek, malas masuk kelas sebab katanya dosen tidak pernah mengajarkan kebenaran. Puluhan pasang kaki di bawah sana, kaki yang sama seperti kakiku, sedang terseok-seok mengejar mimpi atau titipan harapan dari orangtua. Tidak semuanya berhasil tentu saja. ada beberapa yang berhasil keluar dari kampus dengan toga yang dipindahkan secara khidmat oleh tangan Yang Mulia Rektor, tetapi tidak sedikit yang keluar dengan selembar SK DO yang ditandatangani juga oleh tangan Yang Mulia Rektor. Aku tidak sengaja...
Komentar