Sabtu
sore di perempatan jalan Tala-tala Desa Bontoloe, aku dan Ayahku singgah untuk
membeli beberapa ekor ikan yang dijajakan di sepanjang perempatan jalan.
Sekitar 6 menit aku berdiri di depan salah satu pedagang lalu muncullah
arak-arakan partai bernomor urut satu dengan warna dasar biru, iringan konvoi
tersebut di dominasi oleh mobil-mobil pribadi yang muatannya teramat sesak,
masing-masing menurunkan kaca mobil sembari mengacungkan telunjuk mengasumsikan
angka 1.
Konvoi sore itu biasa saja, sudah
teramat sering dilihat tapi yang membuat aku tertarik menulisnya ialah
bagaimana masyarakat di sepanjang perempatan Bontoloe tersebut yang notabene
adalah pedagang menanggapi kehadiran konvoi partai yang lewat. Tahukah anda,
apa tanggapan masyarakat itu ? tanggapannya sungguh memalukan (setidaknya
begitulah menurutku), “Uang! uang! uang! lempar uangnya!” mereka seperti dikomando
untuk meneriakkan kata itu bersama-sama. Hingar bingar semuanya meneriakkan
kata itu sampai iring-iringan konvoi berakhir.
Aku malu, sungguh malu! Di tengah
hingar-bingar teriakan yang sahut-menyahut aku menunduk membelakangi jalan,
mematut diri memandangi tanah. Terus seperti itu hingga iring-iringan konvoi
berakhir. Pilu, kecewa, marah dan satu perasaan paling mendominasi ialah malu.
Betapa sebagian besar masyarakat kita benar-benar tak mengerti hakikat
demokrasi atau tidak tahukah mereka menggunakan hak suara mereka dengan bijak?
Betapa malu dan kecewanya aku menyaksikan masyarakat memperdagangkan suaranya.
Dan betapa marah dan pilunya aku menyaksikan 5 tahun masa depan negaraku
tergadai demi uang sepuluh ribuan. Dan yang paling membuat miris, penggadai itu
adalah bangsaku sendiri. Tuhan.. betapa tidak imbangnya perdagangan ini.
Komentar