Oleh: Fatmalilia Atha Azzahra
Malam, pukul 20.20
WITA. Tujuh belas maret 2016. Sepekan pasca gerhana matahari total dan saya
sedang dikamar, sendirian memandangi langit. Di atas sana ada bulan separuh
yang bersinar tak secemerlang biasanya. Seperti ada secarik kain tipis tembus
pandang menapis sinarnya menjadi sedikit lebih remang, terkesan lebih lembut. Atau sendu?
Tidak hanya itu,
terdapat satu lingkaran penuh pelangi mengelilingi sang bulan, seolah hendak
menghiburnya dengan menghadirkan beberapa potong warna agar bulan terhibur
sedikit.
Tetapi entah, bulan
mungkin sedang galau malam ini. Mungkin mengenang pertemuan singkatnya dengan
matahari sepekan lalu setelah sekian puluh tahun LDR-an. Mungkin ia sedang
susah payah menata perasaan, mengumpulkan kekuatan untuk menanti sekian puluh
tahun lagi. Atau mungkin sedang murung merutuki rindu yang tidak pernah
terbayar lunas.
Ah, memandang bulan
begitu lama membuat saya seakan-akan mendengar keluh panjangnya. Tak apa, akan
kuberitahu agar kalian tidak penasaran ; Biarkan
aku gagu sendiri dalam kesunyianku/ bersama rindu yang tak pernah kuhabisi
sendiri//
Dilihat dari bumi,
bulan memang menjadi primadona di atas langit malam. Banyak yang memujanya,
menulis syair-syair untuknya, atau sekedar mengagumi dari jauh. Tetapi
pernahkah kita bertanya, di balik kepopuleran sang bulan, tidakkah ia pernah
merasa kesepian?
Makassar, 17 Maret 2016
Komentar