Langsung ke konten utama

Lilin-Lilin Pada Hari Ulangtahun*




Oleh : Fatmalilia Atha Azzahra

Seharusnya oktober menjadi bulan yang istimewa, sebab di hari-hari pembukaan bulan ialah hari ulangtahunku. Meskipun tidak semua pria mau ambil pusing soal hari ulangtahun−aku juga sebenarnya tidak−hanya saja biasanya di tahun-tahun sebelumnya aku selalu dikelilingi banyak teman, banyak wanita, banyak pesta, dan banyak kesenangan.
Kini, bahkan aku sendirian di bawah kelip lampu beraneka warna yang menjalari pohon-pohon ki hujan yang berjejer rapi di sepanjang tribun Pantai Seruni. Merah, hijau, kuning, lalu putih. Heh, aku membunuh waktu mencermati warna-warna lampu, berkelip berganti-ganti. Lalu-lalang manusia, pengunjung, calo makanan, tukang parkir, kepul asap dari tungku perapian, lalu cappucino hangat yang tinggal setengah gelas. Sesekali angin laut menelisik dingin menyapu leherku yang terbuka.

Selamat ulangtahun.
Kamu akan datang, bukan?
Ada lilin-lilin dan kue mocca kesukaanmu

Sebuah pesan singkat.
Dari Airin.
Gadis manis berambut ikal sebahu yang aku temui beberapa bulan setelah kepindahanku ke kota ini. Kecintaannya pada pepuisi membuat kami sering menghabiskan waktu bersama. Berbalas-balas sajak Tere Liye, mendaras Rumi dan puisi-puisi Kahlil Gibran.
Airin adalah gadis yang moody. Dalam sejam ia bisa tertawa sarkatis, menertawai banyak hal, kadang tersenyum penuh pemaknaan disertai rona matanya yang tiba-tiba berubah sangat dalam. Ia bahkan bisa tiba-tiba menangis sesegukan lantaran terlalu tersentuh pada yang ia baca atau yang ia saksikan di depan mata.
Nyaris setiap hari kami bertemu. Menyisihkan sepotong waktu masing-masing untuk dihabisi berdua. Mendulang makna dari setiap pepuisi yang dia bawa atau sesekali aku yang membawakan. Mendiskusikan banyak hal. Airin hampir selalu berhasil membuatku sakit kepala setelah bertemu dengannya.
Ponselku bergetar lagi. Dari Airin.
“Hallo.” Sebuah suara asing menyapaku.
Seorang gadis. Berambut hitam-legam sebahu dengan lesung pipi di sebelah kiri. Kaus biru dongker yang dia kenakan menyatu sempurna dengan kulit putih dan kalung perak di lehernya.
“Gue boleh duduk di sini, nggak? Yang lain udah penuh soalnya.”
Mataku refleks memandang sekeliling. Pantai Seruni menjelang malam adalah puncak keramaian. Musik terdengar hampir dari setiap warung makan yang berjejer. Menimbulkan suara gaduh memenatkan.
Aku menggeser kursi, menyilahkan gadis itu duduk.
Garis wajahnya. Bentuk hidungnya yang tinggi dan sedikit bangir, dan kulit putih yang terlalu putih untuk ukuran gadis-gadis di kota ini, menandakan kalau gadis berlesung pipi ini bukan orang lokal.
“Ehm, dari mana?” Tanyaku memulai percakapan.
Fokusnya teralih dari layar smartphone berlayar lebar di tangannya ke arah wajahku, senyumnya terbit. Senang sekali sebab inisiatifku memulai percakapan.
Namanya Indira, dari Padang tetapi menetap lama di Jogja. Hobbynya travelling, mengunjungi tempat-tempat baru. Kupikir hobbynya itulah yang membuat Indira asyik diajak ngobrol. Dia tidak pernah kehabisan  bahan cerita, leluconnya mengalir, dan dia punya segudang fakta-fakta unik yang ditemuinya dari setiap daerah yang telah dikunjunginya.
Kutemukan pelipur laraku pada diri Indira. Sesuatu yang tidak kudapatkan pada diri Airin yang hampir selalu berhasil membuatku sakit kepala.
Aku menyukai caranya tertawa. Setengah tangkup bulan sabit terbentuk, lesung pipnya tercetak manis dan sesekali kalung peraknya bergeser.
“Tahu nggak, bulan purnama di Bantaeng jauh lebih indah kalau dilihat di tengah-tengah lapangan pas bulannya tepat di tengah langit. Gue udah liat kemarin malam. Maunya sih bisa nyaksiin lagi sebelum balik ke Jogja.” Tuturnya bersemangat.
Aku baru tahu fakta itu. Selama ini aku beranggapan di manapun, kapanpun, bulan selalu saja sama.
Aku tidak perlu berpikir panjang untuk menawarkan diri menemani Indira menunggui bulan. Termasuk sms Airin.
***
Jalan di kota Bantaeng lewat tengah malam adalah sunyi yang bicara. Hanya sesekali kendaraan lewat, satu atau dua. Atau mobil panther berplat kuning yang penumpangnya ditumpuk seperti barang, lewat sesekali.
Indira mungkin telah lelap. Aku dengan senang hati mengantarnya pulang ke wisma.
Dan Airin..
Sekali-dua kali, pintu kayu berpelitur cokelat rumah kontrakan Airin kuketuk. Tak ada jawaban. Aku memutuskan memutar gagang pintu. Ternyata tak dikunci.
Benar ada lilin-lilin. Aroma mocca khas menelisik hidungku. Dan wajah Airin tertelungkup di atas meja, ketiduran menungguku datang.
Dua batang lilin masih menyala. Arlojiku menunjukkan sisa tiga menit menuju pukul satu dinihari. Setidaknya masih ada waktu.
Mataku perih ketika pelan kutiup lilin tersisa dan kupanjatkan doa.
Tuhan, semoga cepat Airin melupakan aku.

*Cerpen termuat dalam buku antologi cerpen "Di Balik Senja" Kaifa Publishing 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pada Suatu Petang..

Aku memandang lepas ke pelataran HIMTI yang nyaris setengahnya tertutupi pohon bebungaan bila dilihat dari sela daun mangga depan Himpunan, tempatku berdiri dan mengamati saat ini. Di bawah sana, berpuluh-puluh manusia sepertiku lalu-lalang dengan berbagai urusan. Bolak-balik memfotokopi, susah payah mengekori asisten agar sudi membuka laporan walau selembar. Tetapi ada juga yang duduk santai di sudut kantin mace, meningkahi gerimis sore ini dengan kepul hangat kopi dan uap kretek, malas masuk kelas sebab katanya dosen tidak pernah mengajarkan kebenaran. Puluhan pasang kaki di bawah sana, kaki yang sama seperti kakiku, sedang terseok-seok mengejar mimpi atau titipan harapan dari orangtua. Tidak semuanya berhasil tentu saja. ada beberapa yang berhasil keluar dari kampus dengan toga yang dipindahkan secara khidmat oleh tangan Yang Mulia Rektor, tetapi tidak sedikit yang keluar dengan selembar SK DO yang ditandatangani juga oleh tangan Yang Mulia Rektor. Aku tidak sengaja...

Kamu tahu nggak, sih?

Kamu tahu? Tidak ada wanita di dunia ini yang cukup sanggup untuk tidak menuntut status dan kejelasan. Karena dia harus memutuskan pada siapa hatinya yang satu dijatuhkan. Kamu tahu tidak? Setiap kali kamu bercanda soal 'kita', ada sejenis perasaan yang belum kudefenisikan muncul. Dadaku tiba-tiba nyeri, seluruh tubuhku nyeri. Seperti ada sesuatu yang kau ambil dariku. Aku sakit hati, tapi tidak tahu karena apa. Kamu tahu kan, kalau aku tidak pernah cukup mampu untuk mengutarakan perasaan lewat kata. Cuma nyaman mengutarakan segalanya dalam tulisan. Kalau aku diam ketika kau 'candai', boleh jadi saat itu aku sedang berjuang menguatkan diri, biar tak jatuh terduduk saking sakitnya. Ramsis, 14 Mei 2015

Tanpa Kamu

Oleh: Fatmalilia Atha Azzahra Kamu tahu rasanya kosong? Seperti lembaran buku, tergeletak di sisi tempat tidurku yang pernah kunamai rindu. Tanpa corak. Tanpa cerita. Tanpa rasa atau sekedar prasangka. Hanya kosong yang kadang-kadang memusingkan. Kamu pernah merasa kosong? Bangun di pagi hari tanpa tahu harus melakukan apa. Berjalan begitu saja. Berhenti ketika lelah. Terduduk lagi di depan lembaran buku yang kunamai rindu. Sepi. Sunyi juga rindu itu. Kamu pernah merasa kosong? Mendadak penaku macet. Tintanya habis. Kata-kata yang senantiasa berdesak-desakan ramai di kepala kini diam. Tanganku kebas. Menulis yang selalu menjadi hal yang membuatku damai, tiba-tiba menjadi hal tersulit. Ada cerita yang ingin kubagi. Ada bahagia yang ingin kusampaikan. Ada perasaan kosong yang ingin kuberitahu. Ada sedih yang ingin kutumpahkan. Tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Atau aku harus memulai dari mana. Kosong. Kata-kata timbul tenggelam. Aku tidak tahu apa yang h...