Beberapa bulan belakangan, untuk menu
sarapan pagi di Jayapura saya sedang fanatik pada bubur sumsum. Bubur dari
tepung beras yang dimasak bersama santan dengan kuah gula merah itu terasa ringan
dan nyaman di perut. Sampai nyaris setiap pagi, saya selalu singgah di warung
kue jajan pasar setelah lampu merah Brimob. Di sanalah saya bisa mendapatkan
bubur sumsum yang enak dikemas dalam cup plastik 450 ml seharga enam ribu perak.
Kemasannya memang tidak ecofriendly
sayang, tapi praktis dibawa-bawa tanpa takut tumpah.
Btw,
di Jayapura banyak pilihan menu sarapan untuk dirimu yang tidak sempat (malas) masak
di pagi hari. Mulai dari nasi kuning yang paling populer, nasi uduk, aneka
bubur hingga gorengan. Tapi diantara semua bubur yang dijual, bubur sumsumlah
yang sedikit perlu usaha untuk mencarinya. Mungkin karena oarang-orang di Papua
ini kebanyakan adalah pekerja keras sehingga tren sarapannya ialah sesuatu yang
mengenyangkan, membuat bubur sumsum yang porsinya sedikit dan massanya yang
ringan menjadi kurang diminati.
Tanpa bermaksud
diskrimiasi, sarapan bubur sumsum sebaiknya hanya cocok bagi kamu yang butuh
asupan energi di pagi hari namun kenyang bukan tujuan utamamu. Sebab menurut
sejarahnya, hidangan bubur sumsum di Indonesia lahir dari kondisi yang penuh
keterbatasan. Ia adalah hidangan yang dibuat sebagai strategi menghadapi
paceklik pangan, agar didapatkan volume makanan yang banyak dari bahan baku
yang minim. Mengonsumsi bubur sumsum di pagi hari tidak akan membuatmu
kekenyangan dan mengantuk.
Bagi kamu pekerja keras
yang butuh asupan energi lebih, sebaiknya carilah menu sarapan yang lebih
mengenyangkan seperti nasi kuning, dan sejenisnya. Karena walaupun arti
simbolis warna putih dari bubur sumsum bermakna kekuatan tulang, tapi tetap
tidak akan cukup membantu menyanggamu sebagai tulang punggung keluarga.
Jayapura, 08 Februari 2021
Komentar