Oleh : Fatmawati Liliasari
Apa kalian pernah merasakan bagaimana
panasnya suhu di kota ketika menjelang tengah hari? Panasnya mungkin masih kalah
di bawah suhu gurun pasir tapi tetap saja sanggup membuat keringat mengucur, lengket
di badan. Gerah.
Kalau sudah begitu,
insting bertahan pasti menarik kita untuk mencari tempat teduh, ruangan ber-AC
mungkin. Atau kalau sedang di rumah, kebetulan tak punya AC, kipas angin sudah
tak mempan lagi, hal terakhir yang dilakukan adalah ngacir ke dapur dan membuka
kulkas. Barulah bisa mendesah lega dan diam di situ dengan pintu kulkas terbuka
untuk waktu yang lama. Kalau kepergok sama Ibu bisa diomeli tentang tagihan
listrik yang terancam naik.
Yang terakhir itu
pernah saya alami, termasuk saya pernah punya keinginan suatu saat punya rumah
dan tinggal di daerah pegunungan yang sejuk. Biar tidak perlu kulkas lagi untuk
mendinginkan diri juga bahan-bahan makanan.
Namun, lima hari saya
di Kahayya, nyaris belum juga dapat berdamai dengan dinginnya yang menembus
tulang. Kalau sudah menjelang sore, kaki dan ujung jari tangan saya mulai
mendingin. Dini hari sudah sedingin es. Selimut dua lapis plus sarung, gagal
melakukan tugasnya melindungi tubuh dari dingin, malah selimutnya juga
ikut-ikutan dingin. Bila subuh, setiap kali membuka mulut akan keluar uap
serupa kabut tipis.
Saking hebatnya suhu
dingin di Kahayya ini, makanan tidak pernah terbuang karena basi. Kamu hanya
perlu memanaskannya sebentar bila mau memakannya lagi. Bila menyeduh teh atau
kopi, segeralah cepat meminumnya. Karena dalam waktu kurang dari 10 menit, kamu
hanya akan meminum teh atau kopi dingin. Ibu desa sering kerepotan kalau ingin
menggoreng sesuatu, karena minyak gorengnya harus dicairkan lebih dulu.
Minyaknya membeku dalam botol.
Mengingat saya harus
berakrab ria dengan suhu sedingin itu selama dua bulan ke depan, membuat saya
rindu rumah dan hal-hal yang biasa saya lakukan bila sedang kepanasan. Seperti,
duduk di bale-bale samping rumah di bawah pohon mangga dan jambu air, ada
segelas sirup jeruk dingin dan buku-buku. Kalau sudah begitu, rasanya saya
tidak membutuhkan apa-apa lagi.
Mengingat hal-hal
seperti itu, menerbitkan sebuah kesyukuran. Kalau biasanya saya mengeluh
gara-gara kepanasan, sekarang di tengah-tengah dingin di kampung orang, saya
malah mensyukuri bahwa di tempat tinggal saya ada udara hangat yang dirindukan
oleh penduduk gunung desa Kahayya.
MasyaAllah, Tuhan tidak
pernah kehabisan cara buat menegur bila kita lalai dari bersyukur atas
nikmatNya. Semoga di belahan bumi manapun kita berada, syukur senantiasa ikut
dalam setiap helaan napas.
Kahayya,
06 Juli 2015
Komentar