
Oleh: Fatmalilia Atha Azzahra
1.460 hari, tidak kusangka
butuh selama itu yang kubutuhkan untuk menjawab segala tanya yang mengusik tiap
saat perihal kamu. Pertanyaan-pertanyaan seperti apakah memang kamu, atau
pantaskah memang kamu menjadi yang pertama? Aku nyaris tidak percaya, butuh
waktu selama itu untuk berdamai dan memahami bahwa tidak selalu hidup kita
berjalan sesuai rencana.
1.460 hari telah
kucicipi segala bentuk rasa sakit, kesedihan, dan patah hati. Kalau hatiku ini
ranting pohon, maka aku telah berkali-kali patah, terinjak-injak, dan hancur. Telah
kupelajari segala bentuk keputusasaan, kecewa, dan terabaikan. Kalau kecewa itu
adalah belati, maka aku telah ditikamnya berkali-kali.
Aku mencintaimu
secara buta. Mataku kuletakkan padamu sehingga aku selalu gagal melihat yang
lain. Aku juga tuli untuk mendengarnya dari orang lain. Aku mencintaimu secara
buta, sampai kuibaratkan hidupku ada dalam hidupmu. Kesedihanku adalah jika kau
bersedih. Kebahagiaanku adalah jika kau bahagia.
Kalau saat ini aku
begitu mudah menangis, begitu cengeng. Tolong jangan hakimi aku. Sebab pernah
suatu waktu untuk menangispun aku tidak tahu caranya. Hatiku jadi batu sebab
deraan yang begitu hebat. Aku mati rasa.
1.460 hari. Selama itu
untuk memahami bahwa yang perlu kulakukan bukan berusaha melupakanmu, menyesali
segalanya, dan mengutuki diri-sendiri. Yang harus kulakukan hanya menerima
dengan lapang dada dan segenap kesadaran kalau aku pernah mencintaimu
sebodoh-bodohnya dan berjanji tidak akan melakukannya lagi.
Waktu selama itu
untuk mencukupkan kebodohanku. Berhenti tenggelam dalam penyesalan dan mencoba
memulai hidup dengan hati yang baru, juga pemahaman baru. Belajar membuka hati untuk
hal-hal baru, orang-orang baru, dan bilang pada kamu (masa laluku) kalau
perdamaian kita berlaku seumur hidup.
Rumah, 18 Mei 2016
Komentar