Langsung ke konten utama

Pertanian dan Mimpi-Mimpi



Oleh: Fatmalilia Atha Azzahra

Bicara soal mimpi-mimpi mungkin tidak akan pernah ada habisnya, ia berubah seiring bertambahnya pemahaman kita soal hidup, atau ia berubah ketika kita mengenal hal-hal baru. Boleh jadi berubah menjadi lebih luas dan abstrak atau bisa menjadi lebih sempit dan jelas.
Ok, lupakan soal perubahan mimpi. Saya sedang ingin menulis catatan ini sebagai seorang mahasiswa pertanian yang punya mimpi ingin melihat anak cucu saya nanti masih bisa melihat kupu-kupu terbang di alam bebas dan mereka berlarian bermain petak-umpet di antara pepohonan.
Oh ya, saya juga ingin mengutip beberapa paragraf yang ditulis oleh Puthut EA dalam bukunya Cinta Tak Pernah Tepat Waktu. Soal mengapa orang-orang sudah tidak lagi menumbuk padi dengan lesung? Sebab memang biji padi yang sekarang ada sudah tidak kuat menahan gempuran alu. Mengapa? Itu terjadi karena jenis padi yang dipaksakan oleh suatu sistem yang terkenal dengan “Revolusi Hijau”. Revolusi Hijau bukan hanya merusak tanah dan sistem ekonomi masyarakat petani, tetapi juga merusak pola pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di sebuah komunitas. Perempuan ‘disingkirkan’ dari proses produksi dan dibebani dengan urusan-urusan domestik.
Anak-anak pertanian, di tangan mereka tergenggam amanah besar. Memastikan kestabilan politik dan ekonomi suatu bangsa dengan menyediakan makan bagi sesamanya.
Puthut EA jauh hari telah memberikan gambaran sekaligus menyanjung anak-anak petani itu. Mereka, anak-anak muda itu, bukan hanya bicara, tapi melakoni. Mereka tidak memegang spidol, tetapi memegang ranting-ranting tumbuhan. Mereka tidak hanya duduk nongkrong, tapi tangan dan kaki mereka ikut menyentuh lumpur. Mereka menyanyi dan saling bicara. Mereka saling membantu untuk melakukan pekerjaan yang mereka yakini penting bagi kehidupan.
Mereka menyingkirkan segala harapan-harapan yang dirasa tidak pantas untuk bersemayam di benak mereka sendiri. Harapan yang tidak pantas! Harapan ingin hidup kaya di tengah mayoritas masyarakat yang miskin, harapan ingin hidup makan di tengah mayoritas masyarakat yang tersengal-senal menghadapi gempuran hidup yang begitu keras, harapan ingin hidup makmur di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang hidup nestapa. Mereka mengerjakan hal-hal sederhana dan mungkin mereka lakukan. Mereka bukan sibuk bicara melainkan bekerja dengan penuh daya. Mereka melakoni di sebuah tempat yang mungkin kita semua melempar pertanyaan..
Kalimat-kalimat Puthut EA bisa jadi adalah sebuah sanjungan atau boleh jadi tamparan untuk kita yang menyampirkan namanya sebagai mahasiswa pertanian tapi tidak sudi kena lumpur dan paparan terik matahari. Merasa cukup dengan mengenakan baju kaos bertuliskan kalimat bijak Soekarno ‘Pertanian adalah soal hidup atau mati’, atau sekedar memperingati hari tani setahun sekali, atau sekedar membagikan leaflet propaganda soal empati kepada para petani di sosial media tetapi tidak pernah ingin mencoba hidup sebagaimana petani hidup. Kebanyakan kita merasa cukup dan lebih mudah berteriak di depan gedung pemerintah menuntut kesejahteraan petani tetapi tidak pernah mau mencoba hidup dalam realitas masyarakat petani. Kita ibarat berteriak dalam mimpi.

Di kampus, 12 Mei 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pada Suatu Petang..

Aku memandang lepas ke pelataran HIMTI yang nyaris setengahnya tertutupi pohon bebungaan bila dilihat dari sela daun mangga depan Himpunan, tempatku berdiri dan mengamati saat ini. Di bawah sana, berpuluh-puluh manusia sepertiku lalu-lalang dengan berbagai urusan. Bolak-balik memfotokopi, susah payah mengekori asisten agar sudi membuka laporan walau selembar. Tetapi ada juga yang duduk santai di sudut kantin mace, meningkahi gerimis sore ini dengan kepul hangat kopi dan uap kretek, malas masuk kelas sebab katanya dosen tidak pernah mengajarkan kebenaran. Puluhan pasang kaki di bawah sana, kaki yang sama seperti kakiku, sedang terseok-seok mengejar mimpi atau titipan harapan dari orangtua. Tidak semuanya berhasil tentu saja. ada beberapa yang berhasil keluar dari kampus dengan toga yang dipindahkan secara khidmat oleh tangan Yang Mulia Rektor, tetapi tidak sedikit yang keluar dengan selembar SK DO yang ditandatangani juga oleh tangan Yang Mulia Rektor. Aku tidak sengaja...

Kamu tahu nggak, sih?

Kamu tahu? Tidak ada wanita di dunia ini yang cukup sanggup untuk tidak menuntut status dan kejelasan. Karena dia harus memutuskan pada siapa hatinya yang satu dijatuhkan. Kamu tahu tidak? Setiap kali kamu bercanda soal 'kita', ada sejenis perasaan yang belum kudefenisikan muncul. Dadaku tiba-tiba nyeri, seluruh tubuhku nyeri. Seperti ada sesuatu yang kau ambil dariku. Aku sakit hati, tapi tidak tahu karena apa. Kamu tahu kan, kalau aku tidak pernah cukup mampu untuk mengutarakan perasaan lewat kata. Cuma nyaman mengutarakan segalanya dalam tulisan. Kalau aku diam ketika kau 'candai', boleh jadi saat itu aku sedang berjuang menguatkan diri, biar tak jatuh terduduk saking sakitnya. Ramsis, 14 Mei 2015

Laporan ilmu Tanah: Bulk Density

I. PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Bobot isi tanah (Bulk Density) adalah ukuran pengepakan atau kompresi partikel-partikel tanah (pasir, debu, dan liat). Bobot isi tanah bervariasi bergantung pada kerekatan partikel-partikel tanah itu. Bobot isi tanah dapat digunakan untuk menunjukkan nilai batas tanah dalam membatasi kemampuan akar untuk menembus (penetrasi) tanah, dan untuk pertumbuhan akar tersebut. Nilai bulk density dapat menggambarkan adanya lapisan padat pada tanah, pengolahan tanahnya, kandungan bahan organik dan mineral, porositas, daya menggenang air, sifat drainase dan kemudahan tanah ditembus akar.   Besaran ini menyatakan bobot tanah, yaitu padatan air persatuan isi. Yang paling sering di pakai adalah bobot isi kering yang umumnya disebut bobot isi saja. Nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan alat-alat pertanian, tekstur, struktur, dan kandungan air tanah. Nilai ini banyak dipergunakan da...