Saya tidak pernah tahu di mana dan seperti apa Apparalang. Dia mungkin sejenis pantai wisata sama halnya dengan pantai Bira atau pantai-pantai yang ada di Galesong. Saya juga tidak pernah paham benar mengapa teman saya ingin sekali berkunjung ke sana, saya hanya tahu dia ingin. Sangat ingin malah, sampai-sampai dia mengigau tentang Apparalang dalam mimpinya. Adukan kopinya, tanakan nasinya, uap gurih lauk yang dia ramu susah payah di dapur bersatu padu dengan celotehannya tentang Apparalang yang senantiasa dia semogakan.
Harapannya dia bangun satu persatu sejak seminggu sebelum keberangkatan ke Bulukumba untuk menghadiri kegiatan organisasi, dipupuk baik-baik dengan rencana matang dan semangat menggebu-gebu, disiram begitu rutin dengan janji dari segelintir orang yang semakin menjaminkan harapnya. Tapi menjelang harapnya terwujud, keadaan tiba-tiba berbalik, semua seolah-olah bersepakat mematahkan jalannya, sampai habis seluruh amunisi pertahanan yang dia punya.
Dia tak jadi ke tempat di mana harapnya ditumbuhkan, dia bahkan menangis dengan seluruh kecewanya. 'Dadaku rasanya kosong melompong, seperti ada bagian yang hilang.' katanya suatu pagi.
Perempuan ketika sedang kecewa, dia ada dalam keadaan serba paradoks. Dia menangis tapi di saat yang sama menertawai dirinya sendiri, merutuki dirinya bodoh kenapa menangis. Dia ingin berteriak mencaci maki, menyalahkan semua orang tapi urung lantaran takut menyesal setelahnya. Dia marah amat sangat, tapi tak tahu harus dilampiaskan pada siapa. Dan temanku itu bahkan jauh lebih sakit dari yang bisa dibayangkan.
Setiap jam dia membujuk dirinya sendiri biar lupa, dan tidak ada cara lain yang bisa ditempuh selain menjadi tidak peduli. Kemungkinan paling buruk adalah boleh jadi orientasinya berubah, menolak peduli pada orang lain karena dirinya berpikir tidak ada yang mengerti dia selain dirinya sendiri. Kemungkinan baiknya adalah boleh jadi kesakitan akibat kecewa yang menghujam hatinya, membuatnya belajar agar tidak mengecewakan orang lain.
Ramsis, 01 Juni 2015
Komentar