Selamat malam Ar, atau bolehkah
kuucapkan selamat pagi saja karena sayup-sayup kudengar kokok ayam telah
membahana, jam sudah menunjukkan sebentar lagi mega fajar akan menyibak malam.
Maaf bila kedatanganku mungkin mengganggu, memenggal istirahatmu yang nyenyak.
Ini adalah
dinihari kedua Ramadhan, hari kedua ritual suci makan sahurku. Dan aku
sendirian, dalam kamar hijau kusam berukuran 3 x 4 meter, ranjang bertingkat
dua yang hanya ada aku seorang. Tentu kau heran, tak biasanya Ramadhan penuh
berkah dan kegembiraan ini kulewati seorang diri. Tapi begitulah kenyataannya
sekarang. Ada hal-hal yang membuatku tak dapat pulang ke rumah melaksanakan puasa
dan sahur bersama Mama, Ayah dan Adik-adikku. Mengingat kenyataan itu, aku
tiba-tiba jadi ingat kau.
Kamu tahu,
setiap kali tengah malam di waktu paling hening aku teringat kau, saat itu
seluruh sarafku mendadak menolak bekerjasama. Kesadaranku pulih dengan cepat,
mataku bandel tak mau terpejam. Aku hanya teringat kau, dan ingin tahu kau sedang
apa. Apakah sedang sendirian juga atau kau sedang tertidur nyenyak di antara
pelukan Ayah dan Ibumu?
Ah ya. Apa kau
masih sering tidur di ranjang yang sama dengan Ayah dan Ibumu? Tidur di tengah
mengantarai mereka berdua, mengacaukan kemesraan mereka? Apa kau masih
melakukannya? Hehe, maafkan aku karena tertawa terlalu keras saat kau
memberitahuku rahasia kecil itu. Aku tidak bermaksud mengejek, hanya merasa aneh
saja mendengar laki-laki yang selalu berjalan tegap dan berbadan besar masih
tidur bersama Ayah dan Ibunya. Aku yakin, kau pasti sangat menyayangi mereka,
dan mereka juga menyayangimu dengan seluruh hidupnya.
Kamu tahu? Aku
iri padamu lantaran kedekatanmu dengan mereka berdua. Tentang kamu yang dapat
menempatkan keduanya seperti sahabat. Karena aku, jangankan menjadikan kedua
orangtuaku sebagai sahabat, tidur ditemani oleh keduanya saja aku tak mau. Aku
enggan ranjangku yang luas itu direcoki. Juga gengsi menyelinap ke kamar Ayah
dan Mama dan tidur di antara keduanya karena takut dibilangi manja. Huft! Lihat!
Aku lebih takut dibilangi manja daripada mendapatkan kesempatan utnuk
menunjukkan kalau aku menyayangi mereka dengan seluruh hidupku.
Ar, tidak inginkah
kau tahu apa yang mengangguku saat ini? Aku tiba-tiba saja amat merindukanmu.
Dan kamu tahu kan kalau kesendirian dan juga sepi dapat melipatgandakan rindu.
Apatah lagi saat ini aku juga begitu merindukan Mama dan Ayah. Biasanya kalau
sudah jam segini Mama akan membangunkanku, memintaku membantu menyiapkan makan
sahur. Tapi sekarang aku harus bangun sendiri.
Aku memasang
alarm untuk membangunkanku tepat di waktu sahur, tapi karena tak yakin dapat
mendengar bunyi alarm itu ketika aku sedang lelap makaaku meminta teman-teman
membangunkanku dengan cara menelpon sampai aku menjawabnya. Setidaknya ada tiga
orang yang kumintai hal serupa. Kamu tahu kan kebiasaan tidurku yang menurutmu
parah. Kalau sudah terlelap, seluruh indraku seperti mati total. Aku bahkan
tidak pernah bermimpi, itulah mengapa dulu aku pernah bilang padamu, kalau
suatu saat kau bisa hadir dalam mimpi-mimpiku maka hal itu adalah sebuah
keajaiban.
Adalagi yang
mengangguku Ar. Yakni pertanyaan apakah saat ini kau juga terusik dari lelapmu
karena tiba-tiba ingat padaku. Apa kau juga sedang diusik rindu? Atau sedang
asyik bergelung di antara pelukan hangat Ayah dan Ibumu.
Hmm.. malang
benar nasibku bila ternyata rinduku dinihari ini adalah rindu sepihak.
***
Di kamar lain, pada waktu sama. Seorang laki-laki
berbadan besar dan tegap tengah duduk di hadapanmeja kayu, tampak sedang
menulis sesuatu. dibantu oleh sinar lampu tidur yang menyala redup.
Selamat malam
Fa, atau biarkan kuucapkan selamat pagi karena sayup-sayup kudengar desing
panci beradu dengan sendok dari arah dapur bawah, juga teriakan Ibu menyuruhku
segera bangun untuk sahur bersama. Ibu mungkin belum tahu kalau sejak tadiaku
sudah kembali ke kamarku sendiri, hendak melanjutkan tidur tapi tidak bisa.
Karena aku tiba-tiba saja ingat padamu.
Ini dinihari
kedua Ramadhan. Hari kedua ritual makan sahur yang selalu menyenangkan di keluarga
kecil kami. Aku selalu bahagia berada di tengah-tengah Ayah dan Ibu, bersama-sama
menyantap hidagan sahur hasil racikan Ibu yang tiada duanya. Aku harap kau juga
merasakan suasana hangat di meja makan saat sahur tiba meski sendirian. Kenapa?
Kamu heran bagaimana aku tahu kalau kamu sedang sendirian. Baiklah. Kemarin,
sehari sebelum hari berpuasa –kuharap kamu masih ingat- kita berpapasan di
koridor fakultas. Kamu tersenyum tipis memandangku ragu. Tanpa kata-kata,walau
hanya sekedar say hello. Aku bahkan
ingat waktu itu kamu tampak cantik dalam balutan jilbab hitam panjang yang
terulur nyaris sampai pinggang.
Bukan hal biasa
melihatmu masih berkeliaran di kampus pada waktu libur begini. Apa kamu sedang
sibuk? Penelitianmukah? Sampai segitunya kamu tak bisa pulang ke
rumah, melewatkan puasa hari pertama bersama keluargamu. Setidaknya pulanglah
dua atau tiga hari Fa, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Aku tahu kamu
tidak akan sanggup hidup bila tak pulang walau hanya sekali dalam sebulan.
Pulanglah..istirahat. Hari itu kamu terlihat begitu lelah.
Ah ya! Apa kamu
bisa bangun untuk sahur sendiri? Biasanya Mamamu yang membangunkanmu, karena ya
ampun! Kamu kalau tidur seperti orang mati saja. Alarm jadi percuma dipasang,
kamu tidak akan mendengarnya. Atau bolehkah aku menelpon untuk membangunkanmu,
Fa?
Fa, tadi itu,
sesaat setelah mataku terbuka sedikit, oleh sebab yang tidak kupahami. Aku
tiba-tiba saja merindukanmu. Aku gelisah sendiri, bertanya apa yang sedang kamu
lakukan sekarang. Apa kamu kesepian? Atau apakah kamu takut? Aku tahu benar
kamu menyukai hening lagi sunyi tapi kamu benci bila harus sendirian. Dasar
penakut!
Ada lagi yang
mengangguku Fa. Yakni apakah kamu belum juga dapat menemukanku dalam
mimpi-mimpimu? Apakah setiap huruf-hurufmu masih menjelma namaku? Atau apakah
tempat yang dulu kau siapkan untukku masih kosong? Aku ingin menemuimu Fa,
sungguh! Tapi aku terlalu takut menghadapi kemungkinan bahwa apa yang dulu
kumiliki kini bukan lagi milikku.
Komentar