Langsung ke konten utama

Kesalahan Terbesar Saya Ialah Karena Tulisan Saya Jelek

Oleh: Fatmawati Liliasari

Nyaris tiga tahun saya jadi mahasiswa, enam kali sudah merasakan deg-degan menanti nilai muncul satu persatu di portal akademik. Tiga tahun! Tapi tidak pernah sekalipun saya mempermasalahkan apalagi menyesali nilai B, atau C sekalian. Saya beranggapan, berapapun nilainya, itulah pencapaian terbaik yang kita raih dari proses belajar kita selama satu semester. Tidak ada yang lebih patut dilakukan selain menerima dengan lapang dada, sembari terus-menerus memperbaiki diri.

Sayangnya, ‘penerimaanku’ terhadap nilai menjadi berbalik sejak tadi sore, ketika kudengar salah seorang teman bertutur bahwa penilaian salah seorang dosen pertama-tama didasarkan pada bagus tidaknya tulisan kita. Yang artinya biarpun jawaban yang kau tulis bagus dan benar tapi tulisanmu jelek, maka nilaimu tidak akan lebih tinggi daripada temanmu yang tulisannya indah meskipun jawabannya asal-asalan, bahkan didapatkan dari usaha yang tidak jujur.

Saya sedih, bukan semata-mata karena merasa telah diperlakukan tidak adil (asal tahu saja, tulisanku−kalau tak mau dibilang abstrak−jeleknya luar biasa. Hurufnya kecil-kecil, keriting, bersambung, nyaris tak bias dibedakan hurufnya satu sama lain), adalah juga bahwa hal tersebut mengindikasikan betapa penilaian secara subjektif diletakkan pertama-tama dalam proses penilaian, sedangkan kita sama-sama tahu bahwa pengetahuan seharusnya dinilai secara objektif. Terakhir adalah kenyataan bahwa para pendidik kita gandrung menilai sesuatu dari tampilan luarnya, bukan isinya.

Buat apa kemudian saya susah-susah menghadiri kuliah saban hari, mengerjakan tugas-tugas tanpa pernah alpa, memahami segenap teori-teori yang ngejelimet kalau akhirnya yang menjadi dasar penilaian adalah indah tidaknya tulisan kita. Mengapa tidak sekalian saja saya habiskan waktu buat memper’indah’ tulisan saya?

Oh ayolah! Saya bukan ingin menyombongkan diri bahwa tulisan saya lebih ber’isi’ dibanding yang lain, saya hanya ingin dinilai secara objektif, terlepas dari segala hal subjektif macam rupa tulisan kita. Lagipula, bukankah dokter-dokter cerdas yang terbiasa menulis resep justru tulisannya kadang tak bisa dibaca, tapi isi tulisannya begitu berbobot?

Tak tahulah saya. Atau mungkin saya saja yang terlalu berlebihan? Saya sakit hati, saya syok, lantaran selama hidup saya, sepanjang perjalanan saya menimba ilmu, kesalahan terbesar saya adalah karena tulisan saya jelek!

Selama tiga tahun, saya buka tidak pernah berusaha ‘memperbaiki’ tulisan saya. Nyaris setiap saat saya berusaha, menulis sepelan mungkin, memastikan setiap hurufnya tidak bersambung dan bisa dibedakan abjad demi  abjad. Tapi tulisan saya tetap dikatakan jelek.


Ketika ujian, hal yang membuat saya pusing bukan karena memikirkan jawaban dari semua soal-soal yang diujikan. Melainkan pusing memikirkan bagaimana caranya agar tulisan saya setidaknya ‘bisa dibaca’ oleh mereka. Meskipun akhirnya lembar jawaban saya selalu disimpan untuk diperiksa paling akhir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pada Suatu Petang..

Aku memandang lepas ke pelataran HIMTI yang nyaris setengahnya tertutupi pohon bebungaan bila dilihat dari sela daun mangga depan Himpunan, tempatku berdiri dan mengamati saat ini. Di bawah sana, berpuluh-puluh manusia sepertiku lalu-lalang dengan berbagai urusan. Bolak-balik memfotokopi, susah payah mengekori asisten agar sudi membuka laporan walau selembar. Tetapi ada juga yang duduk santai di sudut kantin mace, meningkahi gerimis sore ini dengan kepul hangat kopi dan uap kretek, malas masuk kelas sebab katanya dosen tidak pernah mengajarkan kebenaran. Puluhan pasang kaki di bawah sana, kaki yang sama seperti kakiku, sedang terseok-seok mengejar mimpi atau titipan harapan dari orangtua. Tidak semuanya berhasil tentu saja. ada beberapa yang berhasil keluar dari kampus dengan toga yang dipindahkan secara khidmat oleh tangan Yang Mulia Rektor, tetapi tidak sedikit yang keluar dengan selembar SK DO yang ditandatangani juga oleh tangan Yang Mulia Rektor. Aku tidak sengaja...

Kamu tahu nggak, sih?

Kamu tahu? Tidak ada wanita di dunia ini yang cukup sanggup untuk tidak menuntut status dan kejelasan. Karena dia harus memutuskan pada siapa hatinya yang satu dijatuhkan. Kamu tahu tidak? Setiap kali kamu bercanda soal 'kita', ada sejenis perasaan yang belum kudefenisikan muncul. Dadaku tiba-tiba nyeri, seluruh tubuhku nyeri. Seperti ada sesuatu yang kau ambil dariku. Aku sakit hati, tapi tidak tahu karena apa. Kamu tahu kan, kalau aku tidak pernah cukup mampu untuk mengutarakan perasaan lewat kata. Cuma nyaman mengutarakan segalanya dalam tulisan. Kalau aku diam ketika kau 'candai', boleh jadi saat itu aku sedang berjuang menguatkan diri, biar tak jatuh terduduk saking sakitnya. Ramsis, 14 Mei 2015

Laporan ilmu Tanah: Bulk Density

I. PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Bobot isi tanah (Bulk Density) adalah ukuran pengepakan atau kompresi partikel-partikel tanah (pasir, debu, dan liat). Bobot isi tanah bervariasi bergantung pada kerekatan partikel-partikel tanah itu. Bobot isi tanah dapat digunakan untuk menunjukkan nilai batas tanah dalam membatasi kemampuan akar untuk menembus (penetrasi) tanah, dan untuk pertumbuhan akar tersebut. Nilai bulk density dapat menggambarkan adanya lapisan padat pada tanah, pengolahan tanahnya, kandungan bahan organik dan mineral, porositas, daya menggenang air, sifat drainase dan kemudahan tanah ditembus akar.   Besaran ini menyatakan bobot tanah, yaitu padatan air persatuan isi. Yang paling sering di pakai adalah bobot isi kering yang umumnya disebut bobot isi saja. Nilai bobot isi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengolahan tanah, bahan organik, pemadatan alat-alat pertanian, tekstur, struktur, dan kandungan air tanah. Nilai ini banyak dipergunakan da...